3.1. Pengertian
Hedonisme
Hedonisme adalah pandangan hidup
yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan
sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang
menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau
kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.
Kata hedonisme diambil dari Bahasa Yunani hēdonismos dari akar kata hēdonē,
artinya "kesenangan".Paham ini berusaha menjelaskan adalah baik apa
yang memuaskan keinginan manusia dan apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu sendiri.
Paradigma
hedonistis memfokuskan pandangannya pada pencarian kesenangan an-sich
dan penghindaran terhadap segala penderitaan. Namun dewasa ini substansi secara
harfiah sudah tidak lagi menemukan relevansinya. Nampaknya tidak ada persamaan
persepsi mengenai apa-apa saja yang sebenarnya bisa mendatangkan kesenangan dan
apa-apa saja aktivitas yang bisa mendatangkan penderitaan. Esensi filosofis
hedonistik terkadang punya konotasi seksual atau pemikiran liberal.
3.2.
Sejarah Hedonisme
Hedonisme muncul pada awal sejarah
filsafat sekitar tahun
433 SM.
Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat "apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?" Hal
ini diawali dengan Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi
tujuan akhir manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355
SM) menjawab bahwa yang menjadi hal
terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa manusia
sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya,
manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang 'kesenangan'
(hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270
SM). Menurutnya, tindakan manusia yang
mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup
kesenangan badani saja seperti Kaum Aristippos, melainkan kesenangan rohani
juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
3.3.
Tokoh Penggagas Hedonisme
a. Aristippus
Aristippus
dari Kyrene adalah seorang filsuf
Yunani yang memperlajari ajaran-ajaran Protagoras. Ini dilakukannya selama berada di kota
asalnya, yaitu Kyrene,
Afrika Utara. Aristippus kemudian mencari Sokrates dan menjalin hubungan baik dengannya.
Setelah Sokrates wafat, Aristippos tampil sebagai "Sofis"
dan menjadi guru profesional di Atena. Lalu di Kyrene ia mendirikan
sekolah yang dinamakan ''Cyrenaic
School'' yang merupakan salah satu sekolah Sokratik
yang tidak dominan. Sekolah ini mengajarkan perasaan-perasaan sebagai kebenaran
yang paling tepat dalam hidup. Kesenangan adalah baik --termasuk juga kepuasan
badani. Kehidupan orang bijak selalu mencari jaminan kesenangan maksimal.
Aristippus menyetujui
pendapat Sokrates bahwa keutamaan adalah mencari "yang baik". Akan tetapi, ia menyamakan "yang
baik" ini dengan kesenangan "hedone". Menurutnya, akal
(rasio) menusia harus memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan kesusahan. Hidup
yang baik berkaitan dengan kerangka rasional tentang kenikmatan.
Kesenangan menurut
Aristoppus bersifat badani (gerak dalam badan). Ia membagi gerakan itu menjadi
tiga kemungkinan:
1. Gerak kasar, yang menyebabkan ketidaksenangan
seperti rasa sakit
2. Gerak halus, yang membuat kesenangan
3. Tiada gerak, yaitu sebuah keadaan netral
seperti kondisi saat tidur.
Aristippus melihat
kesenangan sebagai hal aktual, artinya kesenangan terjadi kini dan di sini.
Kesenangan bukan sebuah masa lalu atau masa depan. Menurutnya, masa lalu hanya
ingatan akan kesenangan (hal yang sudah pergi) dan masa depan adalah hal yang
belum jelas.
Meskipun kesenangan
dijunjung tinggi oleh Aristoppus, ada batasan kesenangan itu sendiri. Batasan
itu berupa pengendalian diri. Meskipun demikian, pengendalian diri ini bukan
berarti meninggalkan kesenangan. Misalnya, orang yang sungguh-sungguh mau
mencapai nikmat sebanyak mungkin dari kegiatan makan dan minum bukan dengan
cara makan sebanyak-banyaknya atau rakus, tetapi harus dikendalikan/dikontrol
agar mencapai kenikmatan yang sebenarnya.
b. Epikuros
Epikuros lahir tahun 342 SM di kota Yunani,
Samos,
dan meninggal di Atena tahun 270 SM.
Ajaran Epikuros menitikberatkan persoalan kenikmatan. Apa yang baik adalah
segala sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, dan apa yang buruk adalah segala
sesuatu yang menghasilkan ketidaknikmatan. Namun demikian, bukanlah kenikmatan
yang tanpa aturan yang dijunjung Kaum Epikurean,
melainkan kenikmatan yang dipahami secara mendalam. Kaum Epikurean membedakan
keinginan alami yang perlu (seperti makan) dan keinginan alami yang tidak perlu
(seperti makanan yang enak), serta keinginan yang sia-sia (seperti
kekayaan/harta yang berlebihan). Keinginan pertama harus dipuaskan dan
pemuasannya secara terbatas menyebabkan kesenangan yang paling besar. Oleh
sebab itu kehidupan sederhana disarankan oleh Epikuros. Tujuannya untuk
mencapai ''Ataraxia'',
yaitu ketenteraman jiwa yang tenang, kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan
seimbang.
Epikuros sangat menegaskan
kebijaksanaan (phoronesis).
Menurutnya, orang yang bijaksana adalah seorang seniman yang dapat mempertimbangkan pilihan nikmat
atau rasa sakit. Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan,
tetapi mereka yang membatasi kebutuhan agar dengan cara membatasi diri, ia akan
mencapai kepuasan. Ia menghindari tindakan yang berlebihan. Oleh karena itu,
ada sebuah perhitungan yang dilakukan oleh Kaum Epikurean dalam
mempertimbangkan segi-segi positif dan negatif untuk mencapai kenikmatan jangka
panjang dan mendekatkan diri kepada ataraxia.
Kebahagiaan yang dituju
oleh Kaum Epikurean adalah kebahagiaan pribadi (privatistik).
Epikuros menasihatkan orang agar tidak mendekatkan diri kepada kehidupan umum (individualisme). Ini bukanlah egoisme. Menurut Epikuros, kebahagiaan terbesar
bagi manusia adalah persahabatan. Berkumpul dan berbincang-bincang dengan para
kawan dan membina persahabatan jauh lebih menguntungkan dan membantu mencapai ketenangan
jiwa.
3.4. Konsep Dasar
Ide mendasar dibalik makna hedonis mengajarkan
kepada kita bahwa setiap tindakan yang baik, bisa diukur pada seberapa banyak
kesenangan dan seberapa kecil penderitaan yang bisa diproduksi. Dalam koridor
teoretis, hedonisme pun bertalian dengan sistem filsafat etika yang lainnya
seperti utilitarianisme, egoisme dan permisifisme. Dalam terma singkatnya,
seorang hedonis akan mengarahkan segala usahanya untuk memaksimalkan ‘rasio’
ini (pleasure over pain).
Beberapa abad setelah Epicurus, datang John Stuart
Mill (1806-1873) seorang filosof utilitarianisme berkebangsaan Inggris dan
Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof Inggris, yang juga pendiri
University College London (UCL), keduanya menetapkan beberapa prinsip fundamental
hedonisme berdasarkan teori etika utilitarianisme (paham yang mengatakan bahwa
manusia dalam tindakannya selalu mencari untung dan manfaat). Menurut mereka,
nilai-nilai utilitarianisme merupakan sebuah pijakan dasar bagi berdirinya
nilai-nilai filsafat hedonisme dalam seluruh tindakan yang mengarah kepada
proses pencapaian kebahagiaan yang paling besar bagi seluruh manusia. Meskipun
konsekwen dengan pencarian kebahagiaan atau kesenangan, ada sedikit perbedaan
pandangan nilai-nilai hedonistik antara Bentham dengan Mill yang berkaitan
dengan ekspostulat (gagasan) mengenai prinsip-prinsip tentang ‘manfaat’ itu
sendiri. Sedikitnya ada dua aliran pemikiran mengenai hedonisme:
1). Aliran pertama, yang dipromotori oleh Jeremy
Bentham, lebih meyakini pendekatan kuantitatif. Bentham meyakini bahwa
nilai-nilai mendasar tentang sebuah kesenangan bisa dimengerti secara
kuantitatif. Pada dasarnya, dia percaya bahwa nilai-nilai kesenangan bisa
dipacu oleh kesenangan lain yang dipengaruhi oleh durasi waktu (intensitas).
Jadi, bukan hanya jumlah kesenangan, intensitas dan seberapa lama kesenangan
tersebut bisa dinikmati, juga bisa mempengaruhi ‘jumlah’.
2). Aliran
yang kedua, vis a vis kelompok pertama, yang diwakili oleh John Stuart
Mill, yang menganjurkan pendekatan kualitatif. Mill lebih meyakini adanya
perbedaan level kesenangan, yang mana kualitas kesenangan tertingi, lebih baik
dari kualitas kesenangan yang lebih rendah. Mill juga berpendapat bahwa,
makhluk rendahan (simpler beings) semisal babi, punya jalan termudah
untuk memperoleh kesenangan yang sederhana (simpler pleasure); selama
mereka (simpler beings, Pen) tidak disibukkan oleh segmen kehidupan yang
lain, mereka bisa dengan mudah menuruti kesenangan mereka tersebut, sedangkan
makhluk yang lebih kompleks (elaborate beings), terbentur predisposisi
(kecenderungan) untuk memusatkan perhatiannya kepada persoalan yang lain (dalam
kehidupan), oleh karena itu, memperoleh waktu yang sedikit untuk kesenangan.
Maka dengan demikian, mereka (elaborate beings, Pen) akan menemukan
kesulitan untuk menikmati ‘kesenangan yang sederhana’ yang dilakukan oleh
simpler beings, dengan jalan dan cara yang sama.
Namun permasalahan yang muncul adalah: pertama,
pada umumnya, setiap kesenangan tidak memiliki kesamaan sifat atau ciri, meskipun
fakta mengatakan bahwa ‘kesenangan’ tersebut bisa dilihat sebagai ‘sesuatu yang
menyenangkan’ (pleasurable). Lagipula, standar yang berlaku untuk
sesuatu yang dikatakan ‘menyenangkan’ bermacam-macam. Semisal sadisme, yang
sebagian orang menganggap sebagai sebuah kesenangan dan hobi. Sejatinya,
pendekatan kuantitatif dan kualitatif harus diposisikan dan dipandang sebagai
dua pendekatan yang komplementer.
Kedua, seseorang akan merasa
keberatan, jika ketika seseorang yang lain mendapatkan kesenangan mungkin yang
lain akan merasakan penderitaan, yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi
mengenai tindakan moral. Hal ini menjadi kontradiksi jika kita melihat dari
perspektif absolutisitas moral. Sementara dari sudut pandang relativitas moral,
tidak akan pernah terjadi kontradiksi. Dua persoalan inilah, yang dicap oleh
filosof Henry Sidgwickdalam bukunya ‘The Method of Ethics’ (1963) sebagai ‘paradox
of hedonism’.
Banyak yang melihat, hedonisme tidak punya kaitan
dengan egoisme. Tapi anehnya, utilitarianismenya John Stuart Mill terkadang
diklasifikasikan sebagai sebuah bentuk hedonisme, yang mana klasifikasi
tersebut juga membenarkan tindakan moral melalui kontribusi berikutnya kepada
manfaat tertinggi dan kebahagiaan. Hal ini juga –bisa dikatakan- sama dengan hedonisme
altruistik (altruisme; paham mendahulukan orang lain). Mengingat, diantara
doktrin-doktrin hedonistik ada yang mengajarkan untuk melakukan apa saja yang
bisa membuat kebahagiaan pribadi seseorang (via usaha yang panjang), Mill juga
menyetujui tindakan-tindakan yang dapat membuat orang-orang bahagia. Dengan
arti lain, menyandingkan individualisme dengan kolektifisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar