Senin, 09 Agustus 2010

Jihad

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak orang menafsirkan makna jihad fi sabilillah dengan berbagai macam penafsiran. Mana makna jihad yang benar menurut kaca mata syariat Islam? Dan peperangan seperti apa saja yang dapat dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah?

Ada upaya baru yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam, yakni meminggirkan dan menghilangkan makna serta pengaruh istilah-istilah Islam di tengah-tengah kaum Muslim. Salah satu istilah yang berusaha mereka eliminir dan kaburkan adalah istilah jihad. Hal itu dilakukan bukan saja dengan menciptakan stereotipe negatif tentang jihad, mujahid dan syahid, tetapi juga dengan mengalihkan makna jihad secara syar’i ke pengertian jihad secara bahasa (lughawi) yang bersifat lebih umum.

Tidak dipungkiri, kata jihad memiliki pengarih yang amat luas, dan masih memiliki greget yang mendalam di kalangan kaum Muslim. Gaung jihad akan segera menghentakkan kaum Muslim, yang sehari-harinya biasa-biasa saja. Seketika kita berubah wujud menjadi luar biasa. Fenomena semacam ini amat dipahami, baik oleh musuh-musuh Islam maupun kalangan Muslim sendiri. Tidak aneh jika kata jihad sering dipelintir maknanya untuk kepentingan politik negara-negara besar maupun kalangan-kalangan tertentu.

Negara Barat kafir seperti AS, hingga kini tetap giat mempropagandakan pandangan bahwa jihad sama dengan teror, mujahidin sama dengan teroris atau ekstremis yang harus dimusuhi, dilawan, dan dibinasakan. Mereka khawatir dengan bangkitnya semangat kaum Muslim melawan hegemoni sistem kufur yang dipelopori AS. Kaum orientalis dan para pengikutnya mengarahkan makna jihad dalam pengertian yang lebih luas, mencakup jihad pembangunan, jihad menuntut ilmu, jihad mencari nafkah, jihad ekonomi, jihad politik dan sejenisnya. Semua itu mengaburkan makna jihad yang sebenarnya. Dalam skala yang lebih sempit lagi, kata jihad ternyata juga sengaja dipelintir dan dipolitisasi untuk menghadang atau melawan kelompok tertentu yang bertentangan dengan kelompok mereka. Inilah yang sekarang terjadi di negeri ini.

Untuk meluruskan persepsi keliru tentang makna jihad agar tidak digunakan untuk kepentingan politik tertentu, yang dengan gampang mengangkat perkara ini guna menghadang pihak lain yang menghalang-halangi atau mengganggu eksistensi dan kepentingan kelompok mereka, sangatlah penting menjelaskan hakikat jihad yang sebenarnya kepeda seluruh kaum Muslim.

Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd. Artinya adalah saling mencurahkan usaha. Lebih jauh lagi Imam an-Naisaburi dalam kitab tafsirnya menjelaskan arti kata jihad –menurut bahasa-, yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk memperoleh maksud tertentu2.

Al-Quran menggunakan arti kata jihad seperti diatas dalam beberapa ayatnya, seperti ayat berikut:

]وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا[

Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dalam hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (TQS. Luqman [31]: 15)

Makna jihad menurut bahasa (lughawi) adalah kemampuan yang dicurahkan semaksimal mungkin; kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik menggunakan senjata atau tidak; kadang-kadang dengan menggunakan harta benda dan kata-kata; kadang-kadang berupa dorongan sekuat tenaga untuk meraih target tertentu; dan sejenisnya. Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu kerja keras.

Al-Quran telah mengarahkan makna jihad pada arti yang lebih spesifik, yaitu: Mencurahkan segenap tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik langsung maupun dengan cara mengeluarkan harta benda, pendapat, memperbanyak logistik, dan lain-lain3.

Pengertian semacam ini tampak dalam kata jihad yang ada dalam ayat-ayat Madaniyah. Maknanya berbeda dengan kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat Makkiyah. Kata jihad mengandung makna bahasa yang bersifat umum, sebagaimana pengertian yang tampak dalam al-Quran surat al-Ankabut [29]: ayat 6 dan 8 serta surat Luqman [31]: ayat 15.

Tidak kurang dari 26 kata jihad digunakan dalam ayat-ayat Madaniyah. Semuanya mengindikasikan bahwa jihad disini mengandung muatan makna perang menentang orang-orang kafir dan keutamaan orang yang pergi berperang dibandingkan dengan orang yang berdiam diri saja. Pengertian semacam ini diwakili oleh firman Allah Swt:

]انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ[

Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 41)

Jihad dengan makna mengerahkan segenap kekuatan untuk berperang di jalan Allah juga digunakan oleh para fuqaha. menurut mazhab Hanafi, jihad adalah mencurahkan pengorbanan dan kekuatan untuk berjuang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta benda, lisan dan sebagainya4. Menurut mazhab Maliki, jihad berarti peperangan kaum Muslim melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah hingga menjadi kalimat yang paling tinggi5. Para ulama mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa jihad berarti perang di jalan Allah6.

Sekalipun kata jihad menurut bahasa memliki arti mencurahkan segenap tenaga, kerja keras, dan sejenisnya, tetapi syariat Islam lebih sering menggunakan kata tersebut dengan maksud tertentu, yaitu berperang di jalan Allah. Artinya, penggunaan kata jihad dalam pengertian berperang di jalan Allah lebih tepat digunakan ketimbang dalam pengertian bahasa. Hal ini sesuai dengan kaidah yang sering digunakan para ahli ushul fiqih:

Makna syariat lebih utama dibandingkan dengan makna bahasa maupun makna istilah (urf).

Dengan demikian, makna jihad yang lebih tepat diambil oleh kaum Muslim adalah berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Allah.

Pengaburan makna jihad dalam pengertian syariat ini, dengan cara mengalihkannya ke pengertian yang lebih umum, seperti jihad pembangunan, me untut ilmu, mencari nafkah, berpikir keras mencari penyelesaian, dan sejenisnya yang dianggap sebagai aktivitas jihad- merupakan upaya untuk menghilangkan makna jihad dalam pengertian al-qitâl, al-harb, atau al-ghazwu, yaitu berperang (di jalan Allah).

Untuk menentukan bahwa suatu pertempuran itu tergolong jihad fi sabilillah (sesuai dengan definisi diatas) atau termasuk perang saja, maka kita perlu mencermati fakta tentang jenis-jenis peperangan yang dikenal dalam khasanah Islam. Di dalam Islam terdapat kurang lebih 12 jenis peperangan, yaitu:

1. Perang melawan orang-orang murtad.

2. Perang melawan para pengikut bughât.

3. Perang melawan kelompok pengacau (al-hirabah atau quthâ at-thuruq) dari kalangan perompak dan sejenisnya.

4. Perang mempertahankan kehormatan secara khusus (jiwa, harta benda dan kehormatan).

5. Perang mempertahankan kehormatan secara umum (yang menjadi hak Allah atau hak masyarakat).

6. Perang menentang penyelewengan penguasa.

7. Perang fitnah (perang saudara).

8. Perang melawan perampas kekuasaan.

9. Perang melawan ahlu dzimmah.

10. Perang ofensif untuk merampas harta benda musuh.

11. Perang untuk menegakkan Daulah Islam.

12. Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam.

Perang melawan orang-orang murtad

Murtad, menurut Imam Nawawi, adalah orang yang keluar dari agama Islam, mengeluarkan kata-kata atau tindakan kekufuran, dengan disertai niat, baik niatnya mencela, karena kebencian, atau pun berdasarkan keyakinan9. Orang yang murtad di beri batas waktu, bisa tiga hari atau pun lebih untuk bertobat10. Jika jangka waktu yang diberikan berakhir, sementara yang bersangkutan tetap tidak berubah, maka ia wajib dibunuh.

Jika yang murtad itu merupakan satu komunitas, baik didukung oleh negara kafir atau pun berdiri sendiri, hukumnya juga sama, yaitu wajib diperangi sebagaimana halnya memerangi musuh, bukan seperti memerangi bughât.

Perang melawan para pengikut bughat

Bughat adalah mereka yang memiliki kekuatan, kemudian menyatakan keluar atau memisahkan diri dari Daulah Islamiyah, melepaskan ketaatannya kepada negara (Khalifah), mengangkat senjata, dan mengumumkan perang terhadap negara. Tidak dibedakan lagi apakah mereka memisahkan diri dari Khalifah yang adil atau zhalim; baik mereka memisahkan diri karena adanya perbedaan (penafsiran) dalam agama atau mungkin ada motivasi dunia. Semuanya tergolong bughat selama mereka mengangkat senajata atau pedang terhadap kekuasaan Islam.

Jika ada kelompok orang semacam ini, menurut Imam Nawawi, yang harus dilakukan oleh kepala negara adalah memberinya nasehat agar mereka kembali dan bertobat13. Jika tidak kembali mereka harus diperangi agar jera. Dalam perkara ini, peperangan yang dimaksud adalah peperangan untuk mendidik mereka, bukan perang untuk membinasakan mereka. Alasannya, mereka adalah kaum Muslim yang tidak sadar, dan kesadarannya harus dikembalikan.

Oleh karena itu, perang melawan bughat tidak tergolong ke dalam aktivitas jihad fi sabilillah. Ada dua alasan penting: (1) yang diperangi adalah kaum Muslim; (2) korban yang terbunuh dalam peperangan ini tidak termasuk syahid.

Perang melawan kelompok pengacau

Kelompok pengacau adalah mereka yang melakukan tindak kriminal dalam wujud sekumpulan orang bersenjata dan memiliki kekuatan. Tujuannya adalah merampok, menyamun, membunuh, menebar teror atau ketakutan terhadap masyarakat umum15. Para pelakunya bisa terdiri dari empat jenis: (1) orang-orang murtad; (2) orang kafir ahlu dzimmah; (3) orang-orang kafir musta’man; (4) orang Islam.

Jika di dalam Daulah Islamiyah muncul kelompok semacam ini, mereka wajib diperintahkan untuk meletakkan senjata dan menyerahkan diri, setelah sebelumnya diberikan nasehat. Apabila mereka tidak mengindahkan seruan negara, maka mereka wajib diperangi. Daulah Islamiyah wajib melenyapkan ancaman mereka atas kaum Muslim.

Perang melawan mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan jihad fi sabilillah, jika sasarannya adalah orang-orang murtad, ahlu dzimmah dan orang-orang kafir musta’man. Sebaliknya, jika sasarannya adalah kaum Muslim yang melakukan kekacauan, peperangan melawan mereka tidak tergolong sebagai jihad fi sabilillah.

Perang mempertahankan kehormatan pribadi

Para fuqaha memberinya istilah lain dalam peperangan jenis ini, yaitu as-siyâl. As-Siyâl adalah tindakan ancaman atas harta benda, jiwa dan kehormatan. Ketiga perkara tersebut merupakan perkara-perkara yang harus dijaga. Hukum mempertahankan ketiga jenis perkara tersebut disyariatkan oleh Islam. Jika pihak yang merampas kehormatan, harta benda, atau pun jiwa itu adalah orang-orang kafir, maka peperangan melawan mereka dimasukkan sebagai jihad fi sabilillah. Akan tetapi jika pihak yang mertampas kehormatan, jiwa dan harta benda kaum Muslim adalah juga dari kaum Muslim, maka jenis peperangan melawan mereka tidak digolongkan sebagai jihad.

Perang mempertahankan kehormatan secara umum

Sekalipun obyeknya sama dengan jenis peperangan sebelumnya, yaitu mencakup kehormatan, harta benda dan jiwa, akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar dalam perkara ini. Perang dalam rangka mempertahankan kehormatan secara umum, ditujukan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran atas kehormatan, harta benda dan jiwa, yang dimilikinya sendiri. Misalnya, sekelompok orang yang melacurkan diri, mengambil harta orang lain secara sukarela untuk berjudi, atau sekelompok orang yang bermaksud membunuh diri mereka sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pelanggaran terhadap hak-hak Allah dan hak-hak masyarakat, karena dapat merusak kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat.

Berperang untuk mengikis habis pelanggaran hak Allah dan hak masyarakat ini, di dalam fiqih Islam lebih dikenal dengan taghyir al-munkar. Negara wajib memelihara kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat dengan memerangi mereka yang akan membinasakan kehormatan, harta benda dan jiwa mereka sendiri. Perang dalam rangka ini tidak termasuk ke dalam aktivitas jihad.

Perang menentang penguasa yang menyimpang

Peperangan jenis ini, dalam fiqih Islam dikenal dengan beberapa istilah, seperti al-khurûj (pemisahan diri), ats-tsaurah (pemberontakan atau kudeta), an-nuhûdl (kebangkitan), al-fitnah (fitnah), qitâl azh-zhulmah (memerangi kezhaliman), qitâl al-umarâ (memerangi penguasa), inqilâb (revolusi), harakat tahririyah li tashîh al-auda (gerakan pembebasan untuk perbaikan), harb ahliyah (perang saudara), dan lain-lain.

Yang perlu diingat, peperangan jenis ini berada dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah, yakni tatkala di dalamnya tampak penyelewengan penguasa dalam:

1. Meninggalkan shalat, puasa, atau rukun Islam lainnya.

2. Tidak menegakkan rukun Islam di tengah-tengah masyarakat.

3. Melakukan kemaksiatan secara terang-terangan.

4. Melakukan kekufuran secara terang-terangan.

Peperangan jenis ini memerlukan burhân (bukti) yang pasti bahwa Khalifah benar-benar telah menyimpang dari hukum Islam yang qath’i dengan menjalankan kekufuran. Dalam kondisi semacam ini, seorang Khalifah harus dilengserkan dan dianggap murtad. Jika ia melawan, maka perang melawannya dapat dikategorikan sebagai jihad. Jika Khalifah hanya melakukan penyelewengan saja, tidak sampai melakukan kekufuran secara terang-terangan tetapi mengharuskan dirinya dilengserkan dari kedudukannya sebagai Khalifah, sementara ia tidak bersedia diturunkan, maka perang melawannya sama dengan melawan bughât, tidak dikategorikan sebagai jihad.

Perang fitnah (perang saudara)

Perang saudara disini maksudnya adalah perang antara dua pihak atau lebih yang melibatkan kaum Muslim yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Contoh yang paling mudah untuk perang saudara ini adalah apa yang terjadi dan dialami oleh kaum Muslim di Afghanistan (pada masa pemerintahan Thaliban).

Perang saudara semacam ini tidak digolongkan sebagai jihad fi sabilillah. Bahkan, banyak hadits yang melarangnya, sementara para pelakunya diancam akan dimasukkan ke dalam neraka.

Perang melawan perampas kekuasaan

Kekuasaan itu ada di tangan rakyat (umat). Demikian kesimpulan dari berbagai hadits yang menyangkut bai’at. Bai’at berasal dari umat yang diberikan kepada Rasulullah saw, atau para Khalifah setelah beliau. Artinya, orang yang memperoleh kekuasaan bukan melalui tangan umat atau melalui paksaan dianggap sebagai pihak yang merampas kekuasaan.

Perang melawan pihak yang merampas kekuasaan tidak digolongkan sebagai jihad. Meskipun demikian, dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yang berbeda di kalangan sahabat. Ali bin Abi Thalib ra menganggapnya sebagai jihad. Sikap beliau diwujudkan dalam tindakannya, yakni tidak memandikan jenazah para sahabatnya yang gugur dalam perang Shiffin. Sebaliknya adalah pendapat Asma binti Abubakar. Ia memandikan anaknya, yakni Abdullah bin Zubair tatkala berperang melawan pihak yang merampas kekuasan, yaitu Marwan bin Hakam.

Perang melawan ahlu dzimmah

Ahlu dzimmah adalah setiap orang non muslim yang menjadi rakyat (warga negara) Daulah Islamiyah dan dibiarkan memeluk agamanya. Ahlu dzimmah adalah orang yang terikat perjanjian dengan Daulah Islamiyah serta memperoleh dzimmah (jaminan) dari negara atas jiwa, kehormatan dan harta bendanya. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dapat menggugurkan status dzimmah mereka.

Pelanggaran tersebut mencakup setiap perkara yang mengganggu atau menghilangkan harta benda, jiwa dan kehormatan kaum Muslim, seperti (1) membantu menyerang kaum Muslim, (2) membunuh kaum Muslim, (3) merampok harta benda kaum Muslim, (4) menjadi perusuh, (5) membocorkan rahasia kaum Muslim kepada musuh, (6) menodai kehormatan wanita muslimah, (7) mempengaruhi kaum Muslim agar memeluk agama mereka yang kafir.

Berbagai pelanggaran ini jika dilakukan oleh ahlu dzimmah dapat menggugurkan dzimmah (jaminan) negara atas keselamatan harta benda, kehormatan dan jiwa mereka.

Perang melawan ahlu dzimmah semacam ini termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya, status mereka pada kondisi demikian telah berubah menjadi kafir harbi, karena mereka telah kehilangan dzimmahnya. Kasus semacam ini akan dihadapi jika mereka benar-benar melakukan konspirasi bersama dengan orang-orang kafir harbi untuk menyerang kaum Muslim.

Perang untuk menegakkan Daulah Islamiyah

Untuk mengetahui pakah perang jenis ini temasuk jihad fi sabilillah atau bukan, harus dicermati dulu faktanya. Pertama, jika sasaran perang dalam rangka menegakkan Daulah Islamiyah itu berasal dari kalangan kaum Muslim yang tidak setuju dengan tegaknya Daulah Islamiyah, maka perang jenis ini dimasukkan ke dalam perang melawan bughat. Kedua, perang melawan ahlu dzimmah yang tidak mau tunduk kepada Daulah Islamiyah yang baru berdiri, maka peperangannya dianggap sebagai jihad melawan orang-orang kafir harbi. Ketiga, perang melawan negeri-negeri Islam yang tidak mau bergabung dalam naungan Daulah Islamiyah. Perang jenis ini dimasukkan sebagai perang melawan bughât. Keempat, perang melawan penjajah atau negara-negara kafir yang tidak ingin melihat berdirinya Daulah islamiyah. Perang jenis ini digolongkan sebagai jihad fi sabilillah.

Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam

Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam pada dasarnya tergolong perang untuk menegakkan kalimat Allah. Meskipun demikian, perlu dicermati sasarannya. Jika yang diperangi adalah orang-orang kafir atau ahlu dzimmah yang telah mencampakkan perjanjiannya, maka melawan mereka dikategorikan sebagai jihad. Akan tetapi, jika yang diperangi adalah sesama kaum Muslim yang teguh pada nasionalisme atau kebangsaannya, sementara mereka dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk melawan sesama kaum Muslim, maka perang melawan mereka tidak dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah.

Berdasarkan uraian singkat ini, kaum Muslim bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi provokasi, ajakan, maupun seruan-seruan jihad yang disalahgunakan oleh banyak pihak yang didasarkan pada kepentingan politik tertentu. Alih-alih mengharapkan mati syahid, yang diperoleh ternyata mati konyol. Na’udzi billahi min dzalika.

1.2 Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang kami pakai pada penyusunan makalah ini adalah:

1. Pengertian dan Pembagian Jihad

2. Permasalahan seputar jihad di era sekarang seperti terorisme

3.

1.3 Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang kita pakai pada penyusunan makalah ini adalah metode studi pustaka, yaitu mengambil materi dari buku sumber dan tulisan-tulisan atau abstrak berbagai penulis.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini tidak lain untuk:

1. Memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Agama

2. Menambah wawasan kita seputar Jihad


BAB II

PERMASALAHAN

Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan pada latar belakang Bab I,adapun permasalahan yang kami temukan dan kami angkat dalam makalah ini antara lain:

1. Apa pengertian dan apa sajakan pembagian jihad?

2. Apa bentuk penyimpangan dari jihad?

3. Apa berbedaan jihad dengan teroris?

4. Bagaimanakah solusi yang baik untuk menanggulangi segala bentuk terorisme?


BAB III

PEMBAHASAN

Pengertian dan Pembagian Jihad

Pengertian Jihad Menurut Para Ulama

Eksekusi terhadap Amrozi dkk, kembali menimbulkan perdebatan seputar pengertian jihad. Dari kalangan kelompok liberal menyempitkan makna jihad sebatas melawan hawa nafsu bahkan cendrung menolak makna jihad dalam pengertian perang. Berikut ini kami kumpulkan pengertian syari’ dari jihad menurut ulama yang tidak ada pengertian yang lain kecuali perang di jalan Allah SWT.

(redaksi)

Para ulama tafsir,para fikih, ushul, dan hadits mendefinisikan jihad dengan makna berperang di jalan Allah swt dan semua hal yang berhubungan dengannya. Sebab, mereka memahami, bahwa kata jihad memiliki makna syar’iy, dimana, makna ini harus diutamakan di atas makna-makna yang lain (makna lughawiy dan ‘urfiy).

Madzhab Hanafi

Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.

Madzhab Maliki

Adapun definisi jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.

Madzhab as Syaafi’i

Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”. Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.

Madzhab Hanbali

Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.

Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad. Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.

Abu Ishaq

Menurut Abu Ishaq, kata jihaad adalah mashdar dari kata jaahada, jihaadan, wa mujaahadatan. Sedangkan mujaahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam memerangi musuhnya, sesuai dengan kemampuan dan tenaganya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qathlu al-kufaar khaashshatan (memerangi kaum kafir pada khususnya).

Al Bahuuthiy

Al-Bahuuthiy dalam kitab al-Raudl al-Marba’, menyatakan; secara literal, jihaad merupakan bentuk mashdar dari kata jaahada (bersungguh-sungguh) di dalam memerangi musuhnya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qitaal al-kufaar (memerangi kaum kafir).

Al Dimyathiy

Al-Dimyathiy di dalam I’aanat al-Thaalibin menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal fi sabiilillah; dan berasal dari kata al-mujaahadah. Imam Sarbiniy, di dalam kitab al-Iqnaa’ menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal fi sabiilillah wa ma yata’allaqu bi ba’dl ahkaamihi (berperang di jalan Allah dan semua hal yang berhubungan dengan hukum-hukumnya).

Di dalam kitab Durr al-Mukhtaar, dinyatakan; jihaad secara literal adalah mashdar dari kata jaahada fi sabilillah (bersungguh-sungguh di jalan Allah). Adapun secara syar’iy, jihaad bermakna al-du’aa` ila al-diin al-haqq wa qataala man lam yuqabbiluhu (seruan menuju agama haq (Islam) dan memerangi orang yang tidak mau menerimanya). Sedangkan Ibnu Kamal mendefinisikan jihaad dengan badzlu al-wus’iy fi al-qitaal fi sabiilillah mubasyaratan au mu’awanatan bi maal au ra’y au taktsiir yakhlu dzaalik (mencurahkan segenap tenaga di dalam perang di jalan Allah baik secara langsung atau memberikan bantuan yang berujud pendapat, harta, maupun akomodasi perang.

Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy

Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy, dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’, menyatakan; secara literal, jihaad bermakna badzlu al-juhdi (dengan jim didlammah; yang artinya al-wus’u wa al-thaaqah (usaha dan tenaga) mencurahkan segenap usaha dan tenaga); atau ia adalah bentuk mubalaghah (hiperbolis) dari tenaga yang dicurahkan dalam suatu pekerjaan. Sedangkan menurut ‘uruf syara’ , kata jihaad digunakan untuk menggambarkan pencurahan usaha dan tenaga dalam perang di jalan Allah swt, baik dengan jiwa, harta, lisan (pendapat).

Abu al-Hasan al-Malikiy

Abu al-Hasan al-Malikiy, dalam buku Kifaayat al-Thaalib, menuturkan; menurut pengertian bahasa, jihaad diambil dari kata al-jahd yang bermakna al-ta’ab wa al-masyaqqah (kesukaran dan kesulitan). Sedangkan menurut istilah, jihaad adalah berperangnya seorang Muslim yang bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah, atau hadir untuk memenuhi panggilan jihaad, atau terjun di tempat jihaad; dan ia memiliki sejumlah kewajiban yang wajib dipenuhi, yakni taat kepada imam, meninggalkan ghulul, menjaga keamanan, teguh dan tidak melarikan diri.

Imam Zarqaniy

Imam Zarqaniy, di dalam kitab Syarah al-Zarqaniy menyatakan; makna asal dari kata jihaad (dengan huruf jim dikasrah) adalah al-masyaqqah (kesulitan). Jika dinyatakan jahadtu jihaadan, artinya adalah balaghtu al-masyaqqah (saya telah sampai pada taraf kesulitan). Sedangkan menurut pengertian syar’iy, jihaad bermakna badzlu al-juhdi fi qitaal al-kufaar (mencurahkan tenaga untuk memerangi kaum kufar).

Pembagian Jihad

Jihadun Nafs (jihad melawan hawa nafsu)

Yaitu berusaha menundukkan jiwa untuk selalu berada di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melawan seruan untuk bermaksiat kepada-Nya.

Jihadun Nafs memiliki empat tingkatan, yaitu :

  • Mempelajari kebenaran dan agama yang hak
  • Mengamalkan ilmu yang dipelajari
  • Mendakwahkan ilmu yang telah dipelajari dan diamalkannya
  • Bersabar ketika mendapatkan ujian dan cobaan ketika belajar, beramal dan berdakwah

Jihadul Munafiqin (jihad melawan orang-orang munafiq)

Jihad melawan orang-orang munafiq dilakukan dengan senjata ilmu bukan dengan pedang. Maka wajib bagi kita untuk terus-menerus belajar dan mempersenjatai diri dengan ilmu. Bila tidak maka syubhat, syahwat dan bid’ah yang mereka lontarkan akan menerkam kita.

Jihadul Kuffar (jihad memerangi orang-orang kafir)

Yaitu jihad memerangi orang-orang kafir yang menentang, yang memerangi kaum muslimin dan yang terang-terangan menyatakan kekafirannya. Inilah saatnya kita mengangkat pedang melawan mereka.

Jihadul munafiqin dan kuffar memiliki empat tingkatan yaitu :

  • berjihad dengan hati
  • berjihad dengan lisan
  • berjihad dengan harta
  • berjihad dengan jiwa

Jihadusy Syaithon (jihad melawan syaithon)

Jihadusy syaithon memiliki dua tingkatan, yaitu :

  • Berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan oleh syaithon kepada manusia berupa syubhat dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman. Barangsiapa yang mampu mengerjakannya akan membuahkan keyakinan.
  • Berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan oleh syaithon kepada manusia berupa syahwat dan kehendak buruk. Barangsiapa yang mampu mengerjakannya akan membuahkan kesabaran.

Dari semua tingkatan jihad ini yang paling utama dan pertama adalah jihadun nafs, yaitu menundukkan diri sendiri. Karena bagaimana mungkin kita memerangi musuh yang datang dari luar bila kita tidak mampu mengalahkan musuh yang datang dari dalam diri kita sendiri.

Bentuk Penyimpangan Jihad

Jihad yang arti syara’nya adalah perang dalam rangka menghalangi rintangan-rintangan fisik dalam penyebaran Islam akan didistorsikan maknanya hingga menyimpang. Pendistorsian makna jihad ini tampak ketika dialihkannya makna syara’ jihad kedalam makna bahasa saja yakni sungguh-sungguh. Pengalihan makna ini berdampak pada pemahaman yang keliru, ambil contoh misalnya bersungguh-sungguh belajar, bisa diartikan sudah jihad. Bahaya....jika demikian bisa saja ketika seseorang bersungguh-sungguh (ngeden, jw) mengeluarkan air besar di toilet disebut jihad. Ini penyimpangan makna Jihad yang pertama.
Penyimpangan kedua yang juga harus diwaspadai adalah terkhususkannya jihad pada wilayah tertentu (kelompok ini bahkan mengatakan: Palestina bumi Jihad). Artinya, jihad hanya terbatas diwilayah tertentu, misalnya Palestina. Tidak hanya itu, jihad semestinya berada diseluruh penjuru bumi, dimana disitu ada penghalang dakwah Islam secara fisik maka disitu diwajibkan pula Jihad. Di Palestina ya, di Moro ya, di Uzbekistan ya, Irak, Afghanisan, Ceshnia dll.

Penyimpangan ketiga adalah menciutkan makna jihad yang sebatas membela diri. Dikatakan menyimpang karena, mestinya jihad bukan sekedar membela diri, melainkan juga menyerang, menakhlukkan dan membebaskan negeri-negeri dari kekufuran hingga berada dalam pelukan Islam. Dengan inilah Islam bisa tersebar hingga 2/3 dunia bahkan sekarang sampai dalam pelukan keimanan kita. Allahu Akbar...

Penyimpangan-penyimpangan tadi tentu akan terluruskan kembali jika Khilafah tegak kembali. Institusi pelaksana syariah, termasuk disini yaitu jihad fi sabilillah. Wallahu a’lam

Beda Jihad Dan Terorisme

Jihad dan terorisme adalah dua istilah yang tidak bisa ketemu. Jihad Islami bukanlah terorisme seperti tuduhan orang-orang kafir dan antek-anteknya. Begitu pula aksi terorisme bukanlah jihad Islami seperti anggapan sebagian kalangan yang tertipu dengan semangatnya.

Sungguh jauh perbedaan antara keduanya. Terorisme diharamkan dalam Islam karena membawa kerusakan. Sedangkan jihad bertujuan untuk menegakkan syari’at Allah, memperjuangankan kebenaran dan menepis kezhaliman. Jihad memiliki adab-adab dan hukum yang jelas, lain halnya dengan terorisme.

Sebenarnya, perbedaan antara keduanya sangat jelas, terutama bagi insane yang memiliki ilmu. Hanya, banyak orang yang tidak bisa membedakan antara keduanya. Bahkan banyak kalangan menilai bahwa aksi terorisme seperti pengeboman adalah jihad (!), pelakunya adalah mujahid (!) dan bila mati maka syahid (!), dan seterusnya.

Pada kesempatan kali ini, penting kiranya kita membahas secara ringkas masalah ini agar kita bisa membedakan antara jihad yang syar’i (asli) dengan yang palsu. Hanya kepada Allah kita memohon agar Dia menetapkan langkah kita pada zaman yang penuh fitnah ini.

Sejarah Perbedaan Antara Jihad dan Fitnah

Siapa saja yang mempelajari sejarah Islam akan mengetahui bahwa perbedaan antara jihad dengan fitnah telah dibahas para ulama sejak lama. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam – yang memahami secara betul hakikat jihat syar’i – telah membantah kaum khawarij yang berambisi menghunuskan pedang tanpa aturan yang membedakan jihad dan fitnah.

Perhatikanlan pernyataan para sahabat – seperti : Sa’ad bin Abi Waqqosh, Abdullah bin Umar dan Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhum – berikut ini:

Sa’ad bin Abi Waqqosh radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, saya tidak akan membunuh seorang Muslim sehingga di bunuh oleh Dzul Buthoin (yakni Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu).” Lalu ada seseorang yang berkata, “Bukankah Allah berfirman (yang artinya): Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah (QS.al Anfal:8:39).” Sa’ad radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Kami telah berperang sehingga tidak ada fitnah, sedangkan engkau dan teman-temanmu menginginkan perang agar muncul fitnah.” [Shohih Muslim 158]

Dari Nafi’, beliau berkata, “Ada dua orang mendatangi Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu – pada masa fitnah Ibnuz Zubair – seraya mengatakan: “Sesungguhnya sekarang manusia sedang kacau. Engkau (wahai) putra Umar dan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah yang mencegah dirimu untuk keluar (untuk berperang)?” Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Yang mencegahku ialah karena Allah mengharamkan darah saudaraku.” Kedua lelaki itu berkata,” Bukankah Allah berfirman (yang artinya): Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (QS.al Anfal:8:39).” Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Kami berperang hingga tidak ada fitnah dan (hingga) agama semata-mata bagi Allah, tetapi kalian menginginkan berperang sehingga muncul fitnah dan agar agama untuk selain Allah.” [Shahih Bukhari 4513]

Dari Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,”Nafi’ bin al Azroq dan kawan-kawanya (kaum khowarij) pernah mendatangi Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu seraya berkata,”Binasa dirimu wahai Imran!” Imran radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Saya tidak binasa.” Mereka mengatakan,”Bahkan kamu telah binasa.” Dia menjawab,”Apa yang membuatku binasa.” Mereka menjawab,” Allah berfirman (yang artinya): Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah (QS.al Anfal:8:39).” Sahabat Imran radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Kami telah memerangi mereka sehingga mengalahkan mereka dan agama semuanya milik Allah.” (Sunan Ibnu Majah:3930 dan dihasankan al Albani)

Pernyataan sahabat radhiyallahu ‘anhum di atas menunjukkan kepada kita dua hal:

1. Perbedaan antara jihad dan fitnah merupakan pembahasan yang sejak dahulu ada dalam sejarah Islam. Inilah yang sekarang kita ulas, dengan harapan agar kita bisa meniru sikap para sahabat yang sangat mengerti tentang al Qur’an dan hadits, apalagi pembahasan tentang fitnah.

2. Adanya perbedaan antara “Jihad Syar’i” – seperti yang dilakukan para sahabat bersama Rasulullah Allah berfirman (yang artinya): Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah (QS.al Anfal:8:39) – dan “perang fitnah” seperti beberapa fitnah yang terjadi. Apabila seseorang tidak bisa membedakan antara jihad dan fitnah maka dia akan terjatuh ke dalam fitnah. Dengan kata lain, masalah ini sangat penting sekaligus berbahaya.

Membedakan Antara Jihad dan Fitnah

Jihad merupakan amalan ibadah yang sangat utama. Tidak ada keraguan dan perselisihan tentang hal itu di antara setiap muslim. Hanya, harus dibedakan antara jihad yang syar’i dengan ‘jihad prematur’.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”Al Qur’an dan Sunnah penuh dengan perintah jihad dan keutamaannya. Akan tetapi, harus dibedakan antara jihad syar’i –yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya – dengan jihad bid’ah yaitu jihad pengekor kesesatan yang berjihad untuk menaati setan sekalipun mereka menyangka telah berjihad dalam menaati Allah, seperti jihadnya ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu semisal kelompok Khowarij dan sejenisnya. Mereka memerangi orang Islam dan orang-orang yang lebih utama daripada diri mereka, (yakni) dari kalangan para sahabat yang mendahului mereka masuk Islam beserta orang-orang yang mengikuti mereka.”

Dari sini dapat kita pahami bahwa tidak semua peperangan adalah jihad syar’i yang diinginkan oleh agama Islam. Tidak semua perbuatan yang diklaim sebagai jihad adalah benar-benar jihad. Jihad adalah ibadah. Oleh karena itu, sebagaimana ibadah lainnya, ia harus memenuhi dua syarat: ikhlas hanya untuk Allah dan sesuai dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tidaklah cukup sekadar berbekal niat yang ikhlas dan semangat menggebu dalam jihad tanpa diiringi dengan petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan syarat diterimanya amal seorang hamba. Oleh karena itu, Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Abu Musa radhiyallahu ‘anhu: “Bagaimana menurut pendapatmu, seseorang yang keluar dengan pedangnya dengan mengharapkan wajah Allah lalu dia berperang hingga mati, apakah dia masuk surga?” Abu Musa radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Ya.” Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,”Tidak, namun apabila dia keluar dengan pedangnya demi mengharapkan wajah Allah kemudian sesuai dengan perintah Allah lalu terbunuh, maka dia akan masuk surga.”

Maksud ucapan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu “kemudian sesuai dengan perintah Allah” ialah sesuai dengan sunnah sehingga jihadnya adalah jihad yang benar, sebagaimana dijelaskan oleh sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Apakah dia berperang di atas sunnah atau di atas bid’ah.”

Hasan al Bashri rahimahullah pernah memperhatikan jihad suatu kaum lalu berkomentar, “Ternyata mereka mengasung pedang dalam kebid’ahan.”

Oleh karena itu, orang yang cemburu terhadap agamanya hendaklah mengerahkan tenaga guna membedakan antara jihad yang syar’i dan jihad prematur yang berlabel jihad. Roh seorang mukmin terlalu mahal harganya untuk ditumpahkan tanpa alasan yang benar

Pengeboman = Jihad?

Pada zaman sekarang ada beberapa perbuatan yang di anggap sebagai jihad fi sabilillah (di jalan Allah) padahal jihad Islami berlepas diri darinya: membunuh para pegawai pemerintahan, membunuh orang-orang kafir di negeri mereka atau negeri kaum muslimin dengan pengeboman atau penculikan dan lain-lain, melakukan aksi unjuk rasa / demonstrasi guna menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah, menggulingkan pemerintahan lewat parlemen dan system demokrasi, dan sebagainya. Di antara yang dianggap jihad adalah aksi pengeboman yang kini menjadi polemik dan pembicaraan di berbagai media. Benarkah pengeboman merupakan jihad fi sabilillah? Ataukah pengeboman justru merupakan salah satu bentuk terorisme yang dianggap sebagai jihad?

Imam asy Syathibi rahimahullah berkata,”Memikirkan buah suatu perbuatan sangat penting dalam pandangan syari’at, entah perbuatan terbuet benar atau salah, sebab seorang alim tidak bisa menghukumi secara benar suatu perbuatan melainkan setelah melihat buah yang dihasilkan dari perbuatan tersebut berupa kebaikan atau keburukan.”

Al Hafizh Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,”Apabila seseorang merasa kesulitan menentukan hukum suatu masalah, mubah atau haram, maka hendaklah dia melihat mafsadah (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan. Apabila sesuatu tersebut ternyata mengandung kerusakan yang lebih besar maka sangatlah mustahil syari’at Islam memerintahkan atau memperbolehkannya, tapi keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah dan Rasul-Nya, baik dari jarak dekat maupun jauh, maka orang yang cerdik tidak akan meragukan keharamannya.”

Dampak negatif dan kerusakan akibat pengeboman di Negara-negara Islam, di antaranya:

1. Hilangnya Keamanan Negara Dan Munculnya Kekacauan

Keamanan merupakan kenikmatan besar dan kebutuhan primer bagi pribadi, masyarakat dan Negara. Bahkan, keamanan bagi manusia lebih penting daripada kebutuhan pangan. Oleh karenanya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam do’anya lebih mendahulukan keamanan daripada pangan.

Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian..” [QS.al Baqarah/2:126]

2. Terbunuhnya Nyawa

Imam asy Syathibi rahimahullah berkata,”Seluruh umat (Islam), bahkan semua agama bersepakat bahwa syari’at diletakkan guna menjaga lima kebutuhan pokok: agama, nyawa, kehormatan, harta dan akal.

Lihatlah, betapa banyak nyawa melayang karena aksi ini! Bukankah terkadang yang menjadi korban adalah manusia-manusia yang tidak bersalah? Bila mereka – yang terbunuh itu – adalah muslim maka ingatlah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:

Hilangnya dunia berserta isinya sungguh lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim dengan tidak benar.”

Dan bila korbannya adalah non muslim maka ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang membunuh jiwa yang mu’ahad (orang kafir yang memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin) tidak akan mencium bau surga, padahal baunya dapat dicium dari perjalanan selama empat puluh tahun.” [HR.al Bukhari:69/14]

3. Menghilangkan Wibawa Pemimpin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menekankan kepada kita untuk menghormati pemimpin. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): “Para penguasa adalah naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa yang memuliakan penguasa akan Allah muliakan. Barangsiapa yang menghina penguasa akan Allah hinakan.”

Abdullah bin Mubarok rahimahullah berkata: “Barangsiapa meremehkan ulama hancurlah akhiratnya dan barangsiapa meremehkan pemimpin hancurlah dunianya.”

Bila pemimpin tidak lagi dipercaya maka jangan tanyakan dampak yang ditimbulkannya. Ditambah lagi, para pemimpin telah dipercaya untuk memberikan jaminan keamanan kepada orang non muslim yang datang berziarah ke Negara Islam. Maka hendaklah kita tunjukkan akhlak Islam yang sebenarnya berupa kejujuran, perdamaian dan dakwah kepada kebaikan, bukan malah kecurangan dan kezaliman yang sangat jauh dari akhlak Islam.

4. Mencemarkan Agama Islam

Adanya aksi pengeboman ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh musuh-musuh islam untuk mencemarkan nama baik Islam dan menuduhkan bahwa seperti inilah ajaran Islam. Setelah itu, merka menggelari orang-orang yang berpegang pada agama dengan julukan teroris! Tak cukup sampai disitu, mereka juga akhirnya mempersulit kaum muslimin dari segala bantuan dan aktivitas Islam dengan alasan terorisme!!

Aduhai, tahukah mereka bahwa aksi ini hanyalah dilakukan oleh segelintir kaum muslimin dan tidak disetujui oleh mayoritas mereka. Lebih-lebih para ulama, dengan suara keras dan lantang mereka mengingkari aksi-aksi seperti ini.

Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin rahimahullah berkata,”Tatkala sebagian saudara kita ada yang bertindak keliru makin tercemarlah Islam dalam pandangan barat dan selain mereka. Yang saya maksudkan adalah sebagian kalangan yang melakukan aksi pengeboman dengan alas an jihad fi sabilillah! Padahal sebenarnya mereka malah mencemarkan Islam dan orang-orang Islam. Apakah yang mereka hasilkan? Apakah orang-orang kafir masuk Islam? Ataukah malah lari darinya? Orang Islam hampir saja ingin menutup wajahnya agar aksi keji ini tidak dinisbatkan kepadanya. Islam berlepas diri dari aksi ini. Bahkan, sekalipun setelah ada kewajiban jihad, tidak ada seorang pun sahabat yang pergi ke arena orang kafir untuk membunuh mereka kecuali dengan (disertai) bendera dan pemimpin jihad. Adapun aksi terorisme ini, demi Allah, adalah kerugian bagi kaum muslimin. Akibat yang kita rasakan adalah tercemarnya nama Islam. Seandainya kita menempuh cara yang baik, bertakwa, dan memperbaiki dengan cara yang syar’i maka akan menghasilkan buah yang baik.”

Dari keterangan singkat di atas dapat kita petik kesimpulan bahwa pengeboman bukanlah jihad syar’i yang diinginkan dalam Islam, bahkan justru bertentangan dengan ajaran Islam, akal dan fitrah.

Solusi Terorisme Menurut Pandangan Islam

Sesungguhnya solusi atau penyembuhan terhadap penyakit ini bahkan untuk membentengi diri darinya adalah nasehat Islam yang lurus yang tiada melakukan dengan baik akan nasehat itu kecuali ulama Salaf Ar-Rabbani yang mana mereka telah menyampaikan nasehat dan bimbingannya kepada manusia dan memperingatkan serta menunjuki mereka kepada jalannya para nabi dan rasul yang mulia, yang Allah telah utus mereka sebagai penyeru dan pengajar kebaikan bagi manusia. Jalan itu adalah wahyu ilahi yang dengannya tersucikan hati dari penyakit-penyakitnya dan tenangnlah jiwa dari kebingungannya dan kegoncangan, kecuali orang yang memang dikusai oleh nafsu angkara murka dan telah ditetapkan di dalam Lauhul Mahfudz sebagai orang yang sesat. Sesungguhnya hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” [Al-Qashash : 56]

Dan kapanpun peringatan dan buku-buku tidak membawa manfaat maka Allah akan menjadikan pedang kebenaran yang bermanfaat bagi orangnya yang telah Allah letakkan di tangan penguasa muslim di muka bumi ini, sebagaimana terdapat dalam riwayat hadits yang panjang diantaranya sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Hendaklah kamu ambil di atas tangan orang yang jelek dan hendaklah kamu berdiam di atas al-haq dengan sebenar-benarnya, atau Allah akan palingkan hati sebagian kalian atas sebagian yang lain atau sungguh akan melaknat kalian sebagaimana mereka telah dilaknat”.

Dan belum hilang dari pikiran bahwa masyarakat mempunyai peran penting di dalam melakukan tindakan preventif dan penyembuhan terhadap wabah penyakit terorisme, hanya saja tidaklah masyarakat akan mendapatkan pengaruh dan dampak yang baik kecuali apabila masyarakat tersebut menghiasi diri mereka dengan fitrah (aqidah,-pent) yang bersih dan jernih serta pemikiran Islam yang lurus, adapun jika kenyataannya yang ada dalam masyarakat itu bertabrakan dengan kondisi yang diatas, sesungguhnya seorang yang tidak mempunyai apa-paa tidaklah ia dapat memberikan sesuatu.

Ringkas pembicaarn wahai orang-orang yang mencintai kebaikan untuk orang lain bahwasanya solusi satu-satunya untuk penyakit terorisme di negeri-negeri Islam berada di tangan orang-orang yang mempunyai aqidah shahihah yang bersih dan murni di bawah naungan wahyu ilahi yang dibawa dan disampaikan oleh orang yang mau memahami maknanya dan yang baik penyampaiannya, dan sungguh para dokter mereka itu adalah waliyul amri dari kalangan ulama rabbani dan para pemimpin yang shalih kemudian masyarakat dengan segala lapisannya, kecil atau besar dalam dan luar yang tersifati dengan sifat yang disebutkan terdahulu. Firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang disesatkan maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” [Al-Kahfi : 17]

Adapun solusi terorisme di negeri-negeri kafir, maka pijakannya kepada apa yang mereka ridhai untuk diri mereka sendiri yaitu undang-undang dasar (negeri tersebut) jika diwujudkan sesuatu untuk menolak kemudharatan maka haruslah ia mempunyai kekurangan, terutama akan bertambah parahnya penyakit terorisme di negeri mereka serta semakin meluas dan saling mewarisinya dengan terang-terangan karena mereka tidak percaya akan kebesaran Allah dan Dia yang telah menciptakan mereka dalam beberapa tingkatan kejadian.

Merupakan perkara yang amat sangat disayangkan bahwa mayoritas negeri Islam telah mengikuti jejak negeri-negeri kafir dalam penegakkan hukum undang-undang dasarnya yaitu dalam menyelesaikan berbagai macam problematikanya, yang tidak diperkenankan untuk berhukum dengan undang-undang dasar (yang dibuat oleh manusia), bahkan wajib menggunakan hukum yari’at Allah yang sempurna lagi suci ini. Diakarenakan negeri-negeri Islam itu ber-intimaa (menyandarkan dirinya) kepada Islam dan berbangga diri dengannya hanya dalam syiar-syiarnya, akan tetapi kenyataan dari pelaksanaan hukum-hukumnya dalam menyelesaikan berbagai problem meniru dan mengadopsi dari orang-orang kafir. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.


BAB IV

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran


DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

1. Syarbani, Sahrial.2004.Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.Bogor:Ghalia Indonesia.

2. Kaelan.2004.Pendidikan Pancasila.Yogyakarta:Paradigma.

3. Darmodiharjo,Darji dkk.1979.Santiaji Pancasila.Surabaya:Usaha Nasional.

4. ___________.2006.UUD’45 SETELAH AMANDEMEN.Bandung:Nuansa Aulia

PERUNDANG-UNDANGAN

1. UUD 1945 pasal 37 ayat 1-4

LAIN-LAIN

a. Internet

1. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1695&Itemid=195

2. http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang _dasar45/

3. www.sekneg.ri.go.id

4. www.mpr.go.id

5. http://hariansib.com/?p=36408

6. http://www.anakciremai.com/2008/06/makalah-ppkn-tentang-hubungan-pancasila.html

7. http://www.p2d.org/index.php/kon/26-9-februari-2008.html

Tidak ada komentar: